Siapa yang tidak kesal bila tiba-tiba puluhan motor langsung "nyodok" ambil jalur pas kita sedang bawa kendaraan sendiri? Siapa yang tidak keki ketika melihat lampu merah menunjukkan countdown 100+ detik? Siapa yang tidak geram setengah mati ketika terjebak macet di tengah-tengah "pasar tumpah"? Itulah masalah utama para penghuni ibukota. Macet, panas, polusi sudah menjadi sarapan sehari-hari. Makanya banyak orang yang nggak bisa ngendaliin emosinya ketika di jalan. Lepas dari keruwetan dan kepenatan tersebut, otak saya kembali di refresh ketika mengunjungi kedua tempat yang tak asing lagi bagi warga Jakarta, yaitu Masjid Istiqlal dan Gereja Katolik Katedral. Sejak dari dulu kedua bangunan ini menjadi simbol keharmonisan di Jakarta.
Pelataran luas menyambut ketika saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di lokasi Masjid Istiqlal. Saya sempat celingak-celinguk karena banyaknya gedung. Di mana pintu masuk utamanya? Akhirnya saya bertemu pak Shaklan yang memang bertugas sebagai guide. Sebelum mulai tur, saya wajib mengisi buku tamu terlebih dahulu. Buku besar mirip buku akuntansi itu memuat banyak sekali nama-nama asing dari penjuru Bumi: Swedia, Jepang, Denmark, USA, dll. Tanpa banyak basa-basi, bapak langsung mengajak saya naik ke lantai 2. Di sini terdapat pelataran luas sekali berlantaikan keramik. Keramiknya dibentuk sesuai pola persegi panjang dengan posisi serong. Ternyata lantai kotak-kotak itu digunakan sebagai tempat menaruh sajadah tiap umat di saat shalat. Makanya kotak-kotaknya terlihat sangat teratur dari ujung ke ujung pelataran. Pelataran outdoor ini biasanya digunakan ketika jumlah umat terlampau banyak. Biasanya pada saat Shalat Ied hari raya Idul Fitri.
Aula yang paling sering digunakan adalah aula indoor utamanya yang juga tidak kalah luas. Interiornya dibuat senyaman mungkin dengan karpet merah digelar seluas aulanya. Langit-langitnya terbuat dari ratusan ribu stainless steel yang berongga sehingga angin dapat masuk lewat ventilasi ini. Namun sayang, bagi non-Muslim tidak diperkenankan masuk ke aula ini. Sebagai info, mungkin cuma tamu terhormat saja yang bisa masuk ke sini, contohnya Obama. Info menarik lainnya, saya baru tahu jika arsitek yang membangun masjid ini ialah seorang non-Muslim.
Perjalanan dilanjutkan ke Gereja Katolik Katedral yang berada tepat di seberang masjid. Saya kagum dengan kemegahan arsitekturnya yang bergaya Ghotic. Keheningan menyelimuti jiwa rohani ketika masuk ke dalam bangunan gereja. Dinding interior penuh dengan mural (lukisan dinding) jalan salib (peristiwa saat Yesus akan disalibkan). Menikmati karya seni sejarah dalam keadaan hening sambil merasakan hadirat rohani merupakan suatu pengalaman yang membuat hati saya teduh sejenak. Bila ingin mengetahui sejarah gereja lebih lanjut, kunjungi saja museum yang berada di lantai 2. Namun ingat, museum hanya buka di hari dan jam tertentu.
Puas berkeliling gereja, saya kembali ke halaman gereja dan melihat pemandangan yang sungguh harmonis. 2 gedung tua sebagai simbol agama berdiri kokoh dan damai sejak lama di ibukota ini. Bahkan bila salah satu tempat tidak cukup lahan parkir, tak segan salah satunya berbagi lahan. Sudah seharusnya sikap toleransi ini dijunjung di era modern ini, khususnya daerah perkotaan. Tidak hanya antar umat beragama saja, tetapi pada siapapun juga.
"Leave nothing but footprints. Take nothing but pictures. Kill nothing but time"
Terimakasih anda telah membaca artikel tentang Simbol Harmonis Ibu Kota. Jika ingin menduplikasi artikel ini diharapkan anda untuk mencantumkan link https://howtravelguide.blogspot.com/2013/09/simbol-harmonis-ibu-kota.html. Terimakasih atas perhatiannya.