|
Bagian depannya Noi Bai Airport, Hanoi (Sumber: vietnamcartransfer.com) |
Cerita ini sambungan dari sini"No no no no....," kata si cici (kakak perempuan) bernada yakin sembari menggelengkan kepalanya. Meski saya tanya ulang lagi si cici tetap saja geleng kepala."There's no bus here to the town," jelasnya. Dia malah menghimbau kami untuk naik taksi atau shuttle bus yang ada di depan lobby. Saya pun juga tidak langsung percaya kata si cici informasi tadi, karena saya sudah mencari info cukup lengkap via internet mengenai kendaraan ke kota dari Noi Bai Airport. Ternyata benar saja, begitu keluar kami langsung ditawarin taksi-taksi. Jalan ke arah kanan sedikit kami dipaksa seorang ibu-ibu untuk segera masuk ke shuttle bus. Alasannya, sih katanya udah mau jalan, makanya diburu-buruin. Namun saya tetap bersikukuh dengan catatan yang saya pegang di tangan. Hasil tanya-tanya Mbah Google, di ujung kanan setelah keluar main gate airport ada bis yang dapat mengantarkan langsung ke pusat kota, Old Quarter. Dari jarak seratusan meter juga sudah bisa terlihat bis kota berwarna khas putih merah lagi asyik mejeng di pinggir rerumputan. Dari tempat itu kami naik bis nomor 17 yang saya yakin bisa mengantarkan kami ke kota. Tinggal bilang 1 kata saja "Long Bien", maka kenek dan sopir juga sudah tahu kita bakal diturunin di daerah turis.Pilihan yang tepat untuk naik bis di siang hari. Hanya dengan 7.000 VND (Vietnamese Dong) atau sekitar Rp3.500 saya sudah bisa mencapai pusat turisnya Hanoi. Dibandingkan dengan shuttle bus yang mengharuskan saya untuk merogoh kocek sekitar US$2. Apalagi taksi yang bisa mencapai ratusan ribu! Dengan bis, setidaknya saya bisa ikut berbaur dengan warga lokal. Ya, ikut-ikutan bingungnya. Dari bagian tengah hingga sopir semuanya saya tanyain yang pastinya mereka bisa jawab dengan 1 kalimat, "I don't know" atau gerakan universal lambaian tangan. Pokoknya saya cuma harus ingat 1 kata ampuh "Long Bien?" dan semua penumpang pasti manggut-manggut ngerti. |
Keneknya anak muda berseragam |
Perjalanan Noi Bai - Old Quarter memakan waktu sekitar 1 jam yang bisa saya habiskan hanya dengan melihat-lihat ada apa di luar. Dari balik jendela bis terlihat perumahan khas pinggir kota berderet. Hampir di tiap terasnya mereka membuka lapak usaha makanan, HP, bengkel, dll. Nggak beda jauh dengan pemandangan rumah-rumah di pinggir jalan jalur Pantura, bangunan rumah biasa dengan bisnis di depannya. Namun ada perbedaan yang cukup mencolok bila melihat ke arah dalam jendela bis. Tipikal bis kota sama seperti bis-bis lainnya di Jakarta dengan interior lumayan bersih hampir dipadati penumpang. Sistem berhentinya juga lebih manusiawi, bukan dengan teriak, "Kiri, bang!" dan sopir langsung "banting" stir. Di sini semua bis tertib berhenti hanya di depan halte yang sudah tersedia. Perbedaan yang mencolok justru karena ada AC-nya. Suasana di dalam pun tetap sejuk dan adem ayem meski si sopir bawa bisnya mirip di film Speed. |
Siang bolong penuh penumpang nggak bakal keringetan dan kepanasan |
|
|
|
Tampak luar bis kotanya |
Sudah jam 1 siang namun kami belum sempat makan sejak pagi. Perut keroncong memaksa kami untuk keluar cari makan setelah beres-beres sebentar. Bukanlah perkara sulit untuk mencari makan di Old Quarter. Nengok kanan-kiri pasti melihat plang bertuliskan Pho. Dan nampaknya kami emang nggak ada pilihan lain lagi kalau perut sudah ribut. Menu pesanan saya kali ini emang nggak salah, semangkuk besar mie putih kuah yang disajikan dengan topping daging dan sayuran. Irisan dagingnya tampil menggiurkan bertekstur alot nan lembut dalam warna coklat muda rebus matang, disajikan dengan tauge dan caisim. Setiap seruputan kuah dalam sendoknya terasa sari kuah khas kaldunya, wendang bambang, pokoknya! Kalau sudah lapar begini yang penting adalah kuantitas bukan kualitas lagi. Apalagi makannya sambil ngemper di pinggir jalan duduk manis di bangku kecil di bawah rimbunan pohon yang teduh. |
Warung Pho pinggir jalan |
|
2 macam jenis Pho yang sempat saya cicipi |
Nggak usah kaget bila warung-warung makan di Old Quarter membuka lapaknya di atas trotoar lengkap dengan meja dan bangku mini. Mejanya ukuran meja gambar anak TK dan bangkunya yaitu bangku plastik kayak yang sering dipake sama si mbok buat nyuci baju. Tradisi makan ngemper seperti ini sudah terbiasa bagi mereka. Bisa juga makan di indoor, namun agak sempit dan bangku/mejanya juga mini. Alhasil, kami menyantap hidangan sambil nunduk ngangkang karena saking mini mejanya. Tidak hanya warung makan pinggir jalan saja yang menganut tradisi ini, bahkan cafe dan bar anak muda juga sama. Malam itu kami bertiga jalan keliling sekitaran Hoan Kiem Lake hingga ke St. Joseph's Cathedral. Di depan gerejanya ada beberapa bar tempat kawula muda hang out. Lucunya, bangku-bangku di dalam bar/cafe malah sepi, yang ramai justru di teras depannya. Mereka asyik bercengkerama dengan kerabatnya ditemani dengan segelas milkshake dan sepiring penuh kuaci. Saya jadi bingung sendiri, di sini kuaci bisa dijadikan main dish bagi mereka. Karena dengan 1 gelas minuman kamu bisa saja nongkrong hingga larut malam, asalkan ada sepiring kuaci. Sama kayak prinsip orang kita, "Makan nggak makan yang penting ngumpul." Bahkan saya sempat melihat sekumpulan muda-mudi bergaya keceh (cantik dan ganteng) malah asyik gelar tikar duduk di atas trotoar. Padahal di situ pasar malam pedestrian yang ramai, namun mereka tetap saja asyik kongkow sambil ngemil kuaci. Bagaimanapun juga tradisi seperti ini menurut saya sangat menarik karena konsepnya yang membumi (down to earth). Ngumpul-ngumpul seakan terasa lebih dekat bila dilakukan di outdoor sambil ditemani benderang lampu-lampu kota dan sejuknya angin malam. Serunya makan sambil mejeng di pinggir jalan
Perut sudah terisi dan puas berkeliling, kini kami kembali ke kamar istirahat untuk keliling esok harinya. Satu hal yang bikin saya penasaran, gimana sih acara-acara TV di negara ini? Sebelum tidur maka kami coba gonta-ganti channel buat ngelihat rupa acaranya. Dari acara lokal, internasional, dan TV kabel, hampir keseluruhannya dimonopoli oleh 1 stasiun TV. Makanya nama-nama channel-nya sama (VTV1, VTV2, VTV3, seterusnya). Ganti channel asal-asal saya nemu acara yang memutarkan video-video klip penyanyi Vietnam. Acaranya ngebahas tentang tangga lagu macam MTV gitu... Lucunya, dari beberapa klip yang saya lihat ternyata lokasi shooting-nya sama aja. Sama-sama di Hoan Kiem Lake namun di sisinya saja yang berbeda.
Bosan dengar lagu yang bahasanya nggak jelas, saya pencet kembali tombol remote dan akhirnya nemu serial drama Taiwan versi dubbing bahasa Vietnam. Yang bikin saya bingung setengah ketawa, ternyata yang men-dubbing cuma 1 orang. Ya, si ibu-ibu dubber mengisi suara semua pemain di filmnya. Entah itu cowok dan cewek, pokoknya suara ya sama si ibu-ibu itu. Udah begitu datar pula ngomongnya kayak nggak ada ekspresi sama sekali. Di acara lainnya yang di dubbing juga begitu semua, lagi-lagi suara si ibu. Saya salut sama si ibu yang sanggup mengejar dialog bergantian antar 3 orang. Pikiran saya, bagaimanapun juga jasa si ibu pasti sangat dihargai di dunia pertelevisian Vietnam. Sebagai pemeran banyak tokoh, saya jadi penasaran berapa gaji si ibu dubber. |
Tempat paling nyaman bagi kami selama 3 hari di Hanoi |
Vietnam memang berkarakter unik sekaligus berciri khas. Saya rasa saya belum cukup menemukan lagi keunikan-keunikan lainnya yang ada di tradisi budaya negara ini. Karena apa yang saya jelajahi masih berada di kulit arinya saja. Kesempatan berikutnya saya ingin mengeksplor bagian utara negara ini.
"Leave nothing but footprints. Take nothing but pictures. Kill nothing but time"
Terimakasih anda telah membaca artikel tentang Hanoi, Ibu Kota Berbudaya dengan Segala Keunikannya (PART 2) . Jika ingin menduplikasi artikel ini diharapkan anda untuk mencantumkan link https://howtravelguide.blogspot.com/2014/01/hanoi-ibu-kota-berbudaya-dengan-segala.html. Terimakasih atas perhatiannya.