|
Pemandangan tepi jalan yang sayang untuk dilewatkan |
Cerita ini sambungan dari sini
Laju motor saya pertahankan konstan di 40 km/jam. Saya sengaja melakukannya agar dapat merasakan angin yang sejuk sambil berjalan ditengah hamparan sawah yang luas. Pulau surga yang bernama Bawean itu berada di tengah Laut Jawa. Pulau ini seakan tak ada habisnya menawarkan berbagai macam keindahan alamnya yang membuat saya cukup terpukau. Dalam satu hari saya coba untuk menjelajah pulau ini, terutama lokasi-lokasi wisatanya yang wajib dikunjungi.
Hari masih pagi dan saya masih cukup lelah setelah perjalanan panjang 2 hari dengan kereta dan ferry. Naluri bertualang semakin excited dan seketika itu juga rasa lelah telah terlupakan begitu saja. Tanpa berlama-lama lagi, kami langsung beranjak dari penginapan untuk segera bertemu dengan hewan endemik pulau ini, Rusa Bawean.1. Penangkaran Rusa Bawean
Lokasi penangkaran rusa berada agak ke tengah pulau. Kondisi jalan yang semakin sempit dan menanjak membuat motor yang saya bawa ngeden sekuat tenaga. Belum lagi harus melewati jalan offroad berbukit di tengah-tengah pepohonan rimbun. Yang bikin sulitnya justru karena tidak adanya plang penunjuk lokasi penangkaran selama di jalan. Pengunjung awam macam kita mana mungkin tahu ada spot wajib kunjung yang jalannya harus lewat hutan di belakang rumah orang.. |
Offroad menuju penangkaran rusa |
Singkat cerita, akhirnya kami tiba di penangkaran Rusa Bawean yang letaknya di pedalaman hutan seperti kamp prajurit pemberontak. Penangkarannya cukup luas untuk beberapa rusa yang jumlahnya dapat dihitung dengan kedua tangan. Yang membedakan Rusa Bawean dengan rusa lainnya dapat terlihat dari ukuran tubuhnya yang lebih kecil. Rusa muda memiliki bintik-bintik putih di tubuhnya hingga nanti pudar di usia dewasa.
Kata mas Riri (guide lokal), hewan yang terancam punah ini punya taring tajam di rahang bawahnya. Saya jadi penasaran untuk melihatnya lebih dekat, mungkin juga bisa sekaligus pegang dan kasih makan. Kamera sudah saya siapkan untuk mengambil pose-pose rusa dari beberapa angle. Namun ternyata, ini bukan seperti kandang kambing domba siap kurban. Minimal saya harus jadi menteri atau orang penting lainnya dulu agar bisa masuk ke dalam kandang. Yah, mau nggak mau saya terima nasib foto-foto dari balik jeruji kawat karatan aja, deh... |
Kurang bagus posenya.. |
|
Ini juga kurang (anaknya) |
|
Ok, not bad. |
Puas foto-foto kawanan rusa yang tampaknya sudah bosan dengan kehadiran kami, maka perjalanan dilanjutkan kembali. Motor tetap melaju ke depan, tapi pandangan saya malah ke arah lain. Kepala ini terus geleng kiri-kanan karena memang pemandangannya terlalu luas untuk di lihat satu arah. Tujuan berikutnya adalah ke sebuah danau yang berada di tengah pulau yang bernama Danau Kastoba.
2. Danau Kastoba
Mengingat lokasinya berada di tengah pulau yang kontur jalannya semakin menanjak, maka lagi-lagi motor harus ngeden semaksimal mungkin. Motor kami parkir di sebelah rumah warga dan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Yap, jika mau berkunjung ke Danau Kastoba kita harus trekking dulu melewati hutan di pinggir bukit selama sekitar 15 menit. |
Trekking ke danau mistis |
Hari ini danau nggak sepi seperti biasanya. Begitu kami sampai di atas, ternyata sudah ada sekelompok turis lain yang lebih dulu datang. Mereka datang jauh-jauh dari negeri jiran untuk mencari leluhur mereka di Bawean, kata guide-nya. Sejak dulu orang Bawean memang sudah memiliki tradisi merantau ke negeri seberang. Kebanyakan dari mereka akan menetap di sana hingga memiliki keturunan dan dikenal sebagai orang Boyan.
Danau Kastoba ini cukup unik karena letaknya di atas bukit dan dikelilingi hutan yang membuat suasananya menjadi asri, dingin, sekaligus agak mistis. Tentu saja danau ini menyimpan beberapa cerita misteri yang cuma mitos dan bahkan kejadian nyata. Saya sempat ngomong gini ke yang lainnya, "Kayaknya saya nggak bakal berani ke sini kalau sendirian" "Saya juga nggak mau, kali.." timpal mas Riri.
Mas Riri langsung saja bercerita tentang legenda danau ini. Sempat dipercaya, dulu di sekitar sini ada sebuah pohon raksasa yang bernama Kastoba. Namun sekarang pohon itu sudah tak terlihat lagi. Menurut mitos, dahulu kala ada seorang pengembara yang matanya buta. Ia sudah kesana kemari untuk mencari pengobatan, namun tak kunjung berhasil.
Hingga suatu saat ia mendengar suatu percakapan ketika ia sedang beristirahat di bawah pohon raksasa yang besar. Ternyata ada 2 gagak putih yang lagi asyik bercengkerama. Si salah satu gagak bercerita pada gagak satunya lagi kalau ia sedang ditugaskan oleh dewa untuk menjaga pohon Kastoba ini. Daun pohon ini punya keajaiban untuk menyembuhkan segala penyakit, namun dewa tidak mau jika hal ini diketahui manusia.
Namun terlanjur sudah terdengar, si pengembara memetik daunnya dan mengusap pada kedua matanya. Seketika itu juga ia langsung celik matanya. Dewa pun marah akan rahasianya yang terbongkar. Ia mengusir kedua gagak putih dan mencabut pohon raksasa itu hingga ke akarnya. Batang pohon dibuang ke pulau sebelah, Pulau Gili. Oleh karena itu, di pulau Gili ada dataran pasir yang memanjang di laut seperti jembatan yang dianggap warga itu adalah batang dari Pohon Raksasa Kastoba.
|
Orang Malaysia demen main air di Danau Kastoba |
Hmmm... cerita yang cukup menghibur sambil sementara ngaso di sebuah pos kayu kecil. Selain ada pos kecil, ada pula toilet dan beranda yang terlihat sudah tak terurus sama sekali. Penasaran akan reruntuhan fasilitas tersebut, maka mas Riri kembali cerita. Kali ini agak serius karena ceritanya benar-benar dari kejadian nyata.
(Butuh imajinasi/dibayangkan biar ceritanya makin terasa)
Belasan tahun lalu ada seorang peneliti berkebangsaan Inggris yang melakukan penjelajahan sekaligus penelitian di Danau Kastoba. Dialah orang yang membangun pos dan toilet di sini. Suatu ketika, ia mencoba diving untuk mengukur kedalaman dan meneliti lebih jauh. Yang bikin seremnya, ternyata sang peneliti nggak kunjung keluar ke permukaan danau! Sudah berhari-hari berlalu, namun si bule sudah tak pernah terlihat lagi. Pencarian juga sudah dilakukan oleh warga-warga sekitar, tapi apa daya. Di pulau kecil ini dulu nggak ada peralatan canggih untuk melakukan hal demikian.
Tak disangka, beberapa minggu kemudian, secara ajaib ia ditemukan di tepi pantai yang tentu saja lokasinya sangat jauh dari Danau Kastoba yang berada di atas bukit. Begitu ditemukan warga, sang peneliti terlihat masih mengenakan peralatan diving lengkap dan warna tubuhnya sudah pucat. Ya, sudah menjadi jasad!
Secara logika sotoy, kemungkinan sang peneliti itu terhisap pusaran air yang ada di dasar danau. Pusaran itu membawa dirinya ke dalam liang-liang gua. Entah di mana dan lewat mana jalur gua itu bisa ada jalan keluar di sekitar pantai.
Sebelumnya, Riri juga sempat cerita ketika sedang nyetir motor di jalan, bahwa di salah satu sisi pulau ada pantai yang airnya asin dan juga tawar. Diperkirakan air tawarnya itu tak lain lagi berasal dari Danau Kastoba. Sampai sekarang belum ada penelitian lagi di Danau Kastoba, sehingga gua di dasar tanah yang menyebabkan pusaran air itu masih tetap menjadi misteri. Saya yakin, cerita ini bakal terasa menyeramkan jika kalian sudah menonton film Sanctum.
|
Suasana dingin dan heningnya benar-benar mencekam |
"Nyawa" sudah terkumpul dan saatnya kita turun bukit meninggalkan orang-orang Melayu yang dari tadi terlihat asyik main basah-basahan. Roda motor terus berputar seiring panas matahari yang menyengat. Dengan hanya berbekal "kompas berjalan", kami jadi tahu kalau sekarang kami lagi berada di bagian utara pulau, tepatnya di kecamatan Tambak.
Di Bawean memang terlihat masih banyak tanah kosong yang biasanya berupa sawah. Namun ada 1 lahan luas kosong di daerah Tanjung Ori (Tambak) yang menarik perhatian saya. Lantas saya tepuklah pundak si mas Riri yang saat itu lagi nyetir motor supaya kami sekalian mampir ke tempat tersebut.
3. Bandara Tak Bernama
Ooo... ternyata ini adalah sebuah landasan pesawat terbang. Landasan sepanjang 900m ini terlihat sangat mengenaskan, mengingat pada Juni 2014 rencananya bandara bakal diresmikan. Dengan batas waktu yang singkat itu, pemda setempat harus "mengejar" dengan menambah segala macam fasilitas penunjang layaknya sebuah bandara lokal.
Karena terbengkalai, kerusakan macam retak bisa ditemukan di kiri-kanan. Yang parahnya, ternyata jalurnya nggak rata di bagian tengahnya! Bahkan, akhir Juni ini saya sempat bertanya lagi ke mas Riri perihal progress-nya. Yak, hampir nggak ada perubahan sama sekali sejak saya ke sana. Kabarnya, maskapai Lion Air ingin membuka jalur Juanda (SBY) - Bawean. Ya, tapi kapan beresnya bapak bupati? |
Hingga tulisan ini di post, bandara ini bahkan belum juga bernama |
Lahan itu malah lebih terlihat seperti proyek yang ditinggalkan ketimbang proyek yang belum selesai. Untuk sementara, jalanan panjang ini dimanfaatkan oleh warga-warga sekitar untuk memuaskan dahaga mereka akan adrenalin. Ya, apalagi kalau bukan kebut-kebutan? Tapi sekarang siang bolong begini mana ada yang mau datang ke sini. Nggak terlihat ada siapapun kecuali kami berempat dan seekor kebo yang sedang nyebrang landasan dengan santainya.
Sudah lewat tengah hari dan perjalanan hanya tersisa beberapa jam lagi sebelum gelap datang. Kami berharap cemas, apa kami masih sempat kejar waktu untuk mengunjungi Pulau Noko yang menjadi highlight utama dalam perjalanan saya kali ini?Ceritanya kurang? Ke sini, dah!"Leave nothing but footprints. Take nothing but pictures. Kill nothing but time"
(Maret 2014)
Terimakasih anda telah membaca artikel tentang [Road Less Traveled] Penasaran Ada Apa di Bawean? (PART 1). Jika ingin menduplikasi artikel ini diharapkan anda untuk mencantumkan link https://howtravelguide.blogspot.com/2014/07/road-less-traveled-penasaran-ada-apa-di.html. Terimakasih atas perhatiannya.