"Coba sebutin salah satu tempat wisata di Jakarta dalam 5 detik?""Monas!"
"Bandung?""Bosscha!"
"Batu?""Eeee.....(loading) Jatim Park!"
"Eeee.... Hong Kong?""Madame Tussauds!"
"Bekasi?""Eeeeee....."Iseng bermain tebak-tebakan dengan adik saya yang membuat kami berdua kebingungan pada akhirnya. "Serius! Sebenernya ada nggak, sih tempat wisata di Bekasi ini?" tanya saya pada adik, meskipun saya yakin betul kalau ia juga tidak tahu sama sekali.
Bertahun-tahun sudah sejak masih kecil saya tinggal di pinggiran kota Bekasi. Namun, sampai sekarang saya sendiri masih belum pernah mendengar ada wisata alam ataupun sejarah di kota ini. Memang apa yang menarik dari kota Bekasi? Udah penuh asap pabrik, polusi knalpot kendaraan, sumber kemacetan abadi setiap hari bagi ibu kota Jakarta. Oleh karena itu, Bekasi pantas sekali menyandang status dengan sebutan "Kotanya Karyawan" dan "The Dust City" (tentu saja karangan saya). Pokoknya Bekasi sudah tidak ada yang dapat dibanggakan lagi bagi saya pribadi!Namun lagi-lagi saya teringat akan tebak-tebakan tadi, sehingga Bekasi masih mendapat secercah harapan bagi saya untuk dijelajahi. Dari kebingungan itu saya mulai googling kesana-kemari. Yang biasanya cuma lihat page 1 saja(tidak ada, berarti ganti keyword), sekarang malah bisa sampai page 7. Hasil dari pencarian, saya dapat 3 target utama untuk dijelajahi. Dari ketiganya, hampir tidak menarik sama sekali untuk dikunjungi. Yang pertama cuma tugu kecil di tengah jalan. Kedua, gedung mirip kantor kecamatan yang dipaksakan jadi wisata. Dan yang ketiga mirip dengan rumah adat. Tanpa berpikir panjang, tentu saja saya pilih yang nomor tiga ketimbang lainnya.
Sekilas dari gambar hanya terlihat seperti rumah adat dari kayu yang tidak "wah" sama sekali. Namun rasa penasaranlah yang menantang saya untuk melihat secara langsung rumah adat yang bernama Saung Ranggon itu. Dengan panduan Google Maps di HP, saya mengendarai motor ditemani Oztyn menuju Cikarang Barat. Perjalanan di siang bolong memang menguji mental para pengendara motor. Selain matahari yang begitu bersemangat, polusi CO2 dan debu yang menyelimuti udara, kami juga harus siap berdampingan dengan ratusan truk raksasa di sepanjang jalan. Tidak ketinggalan pula, bau tak sedap iring-iringan truk sampah yang menuju Bantar Gebang. Ditambah lagi jalan raya yang permukaannya mirip dengan wajah remaja masa puber. Saya pun harus ekstra hati-hati dan berkonsentrasi penuh saat memegang stir.
Pemandangan khas jalanan antar kota yang di kiri-kanannya tampak pedesaan, lahan-lahan kosong, dan pabrik-pabrik besar. Semakin dekat tujuan, jalanan menjadi agak sempit dan tampak berliku-liku. Kami pun tersesat meskipun sudah dekat tujuan. Karena memang di Google Maps-nya mengarah ke luar jalanan yang harus menembus rumah orang. Mustahil, kan?! Namun lagi-lagi kami harus bergantung pada kompas alami, yakni warga lokal. Ternyata letaknya di dalam desa Cikedokan yang harus masuk ke jalan-jalan sempit. Ya, untuk hal seperti ini teknologi memang harus mengalah.
Motor saya berhenti di depan pagar lahan kosong yang di tengahnya terdapat sebuah rumah panggung kayu yang tidak begitu besar. Dari awal saya memang sengaja tidak menaruh ekspektasi lebih akan tujuan kali ini agar tidak terlalu kecewa pada akhirnya. Karena saya sendiri bukan mengutamakan jalan-jalan ala santai, namun lebih ke arah adventure journalist. Oleh sebab itu, sejak dari tadi saya terus mencari warga sekitar yang dapat dijadikan narasumber terpercaya. Kami sempat bertanya pada seorang ibu. Dia berkata bahwa yang menjaga Saung Ranggon orangnya sedang sakit. Kecewa, deh!
|
Saung Ranggon berlokasi di desa Cikedokan yang asri |
|
Karena dikunci, saya berniat untuk mendobraknya (bohong) |
Tidak lama kemudian seorang bapak tua menghampiri dan mengajak kami ngobrol di depan teras rumah si penjaga. Kami bertanya-tanya pada si bapak tentang cerita sejarah Pangeran Rangga sang pembuat Saung Ranggon ini. Namun si bapak malah menjawab ke arah lain hingga kami pun bingung. Di tengah perbincangan kami yang nggak "nyambung", seorang ibu keluar dari pintu rumah. "Saya ibu Sri. Biasa orang-orang sini manggil saya ibu Ncup," kata dia ketika mengenalkan dirinya. Saya dan Oztyn mulai bertanya-tanya bergantian pada ibu Sri sang penjaga Saung ini.
|
Sejarah singkat tentang saung ini |
Sebenarnya di dekat pintu masuk saung ini sudah terpampang jelas sejarah saung ini, jadi saya tidak perlu lagi menjelaskan bagaimana saung ini bisa berdiri di sini (lihat fotonya). Justru saya lebih tertarik untuk mendengar cerita tentang bagaimana bangunan tua ini masih tetap bertahan hingga sekarang, karena tanah di sebelahnya terdapat plang bertuliskan "Tanah Dijual". Tidak seperti dugaan saya, ternyata pemda setempat memberi dana secukupnya untuk tetap menjaga kebersihannya. Dan memang warga dan pemda telah "mengakui" keberadaan saung ini sejak lama.
Bukan Indonesia namanya kalau tidak ada cerita mistis di tempat-tempat bersejarah. Tidak heran, sejak dari tadi si bapak berkali-kali menganjurkan kami untuk coba-coba "minta". "Mau orang Jawa, orang Madura, Betawi, Belanda, orang China kayak lu pada juga bisa. Kalau mau, bawa kopi, teh, sama makanan ke ibu. Nanti tinggal si ibu yang siapin 'segala macamnya'," dengan nada sedikit memaksa kami untuk coba-coba pesugihan. Si bapak juga bercerita bahwa sekitar 3 bulan lalu ada seorang pemuda yang mau buka usaha baru coba "minta" dengan cara tinggal di saung ini selama beberapa hari hingga (katanya) mendapat "pencerahan". Yah, pokoknya sudah kelihatan dari omongannya ada maksud lain, lah..
Kami mengobrol cukup lama sembari menunggu hujan berhenti. Saya pun jadi penasaran dengan sosok Pangeran Rangga dengan bertanya tentang asal-usul pembuatan saung ini. Ibu Sri bercerita kalau yang menemukan Saung Ranggon ini bernama Mbah Raden Abas. Dan salah satu alasan saung ini dikeramatkan warga adalah karena para warga tidak pernah tahu persis siapa sebenarnya yang membangun saung ini. Pokoknya tiba-tiba sudah ada begitu saja sebelum warga Cikedokan tinggal di daerah ini. Unik, ceritanya berbeda jauh dari yang saya sudah baca di papan. Kami pun tidak bisa memaksakan pertanyaan yang mungkin ibu Sri juga tidak tahu pasti jawabannya. |
Ibu Sri yang sedang sakit typhus berusaha menjelaskan cerita tentang sejarah saung |
Hujan sudah agak reda dan kami juga sudah kehabisan pertanyaan pintar. Melihat kondisi ibu Sri yang sedang sakit, maka kami berencana untuk pamit. Kami dianjurkan untuk datang lagi pada bulan Maulid (saya tidak tahu pastinya kapan). Karena pada bulan itu sedang diadakan acara cuci pusaka dan hiburan ala Sunda dan Betawi.Saya sengaja melambatkan laju motor ketika perjalanan pulang keluar dari desa Cikedokan. Bagi orang kota seperti kami, ini adalah pemandangan yang breathtaking. Areal persawahan yang sangat luas terasa sangat asri di sore hari itu ketika saya melewati jalanan yang sempit di tengah-tengahnya. Sungguh absurd sekali, di mana Bekasi yang penuh dengan polusi ternyata masih memiliki daerah yang serba hijau tidak jauh dari kotanya. Mungkin saya tak akan pernah tahu ada situs sejarah Saung Ranggon ini beserta panorama sekitarnya yang masih asri bila saya masih berpikiran buruk melulu akan kota tempat di mana saya tumbuh besar. Dan blusukan memang cara terbaik untuk menjelajah lebih jauh lagi daerah-daerah yang terbilang unik. Saya yakin betul bila masih ada spot unik lainnya di Bekasi yang lokasinya tersembunyi karena masih minim info."It's not about the destination, but the journey."Koordinat GPS Saung Ranggon: -6.338212,107.069994 Sumber inspirasi eksplorasi: http://bersapedahan.wordpress.com/2013/04/28/pengalaman-aneh-bersepeda-ke-saung-ranggon/
"Leave nothing but footprints. Take nothing but pictures. Kill nothing but time"(Oktober 2013)